![]() |
Dok: fMPK lagi laksanakan Audiensi |
Gelombang kekecewaan rakyat terhadap pejabat publik kian hari kian mengeras. Di tingkat nasional, Koalisi Masyarakat Sipil berhasil menggaungkan 17+8 Tuntutan Rakyat yang salah satunya menekankan agar partai politik segera menyingkirkan kader yang melanggar etika.
Fenomena ini kini tidak hanya mengguncang pusat, tetapi juga sebenarnya sudah terjadi di daerah. Di Kabupaten Kuningan, kasus dugaan pelanggaran etika Saipuddin, anggota DPRD dari Fraksi PKS, menjadi sorotan publik dan tengah dikawal ketat oleh Forum Masyarakat Peduli Kemanusiaan (FMPK).
Menurut Ustadz Luqman Maulana, Sekretaris FMPK, gelombang kemarahan rakyat kepada anggota DPR RI dan pejabat publik terjadi bukan sekadar soal pelanggaran hukum, melainkan krisis etika dan moral pejabat publik.
“Rakyat saat ini tidak lagi mau dibodohi dengan narasi kosong. Di Senayan saja, kader partai yang tidak etis langsung dinonaktifkan bukan karena kasus hukum, tapi karena persoalan etika. Itu pesan kuat bahwa etika lebih penting dari sekadar formalitas hukum,” tegas Luqman.
*Ujian Etika untuk PKS dan BK DPRD*
FMPK sejak awal mengawal dua laporan dugaan pelanggaran etika oleh Saipuddin, yaitu pertama, tindakan sewenang-wenang menceraikan istri siri tanpa alasan syar’i. Atas hal ini sangsi sudah dijatuhkan oleh partai: dicopot dari jabatan Sekretaris Umum DPD PKS dan diminta melepaskan jabatan Ketua Fraksi. Namun hingga kini, posisi Ketua Fraksi masih belum dilepas oleh yang bersangkutan.
Kedua, dugaan intervensi membungkam media. Untuk hal ini BK DPRD dan partai masih mendalami dan belum mengambil sikap tegas. FMPK sudah menyerahkan bukti baru berupa pengakuan, rekaman audio, tangkapan layar, serta menghadirkan saksi ahli hukum pidana: Prof. Dr. Suwari Akhmaddhian, SH., M.H., dan Syarif Hidayat, S.Sy., M.H.
“Kami sudah diingatkan oleh saksi ahli agar BK segera memanggil dan mendengar keterangan mereka. Ini penting untuk memastikan proses di BK transparan dan sahih. Kalau pusat bisa tegas menindak, mengapa di daerah justru dibiarkan menggantung?” ungkap Luqman.
Kasus Saipuddin di Kuningan adalah cermin kecil dari persoalan besar politik nasional. Gelombang 17+8 Tuntutan Rakyat menuntut bersih-bersih partai bukan hanya di pusat, tapi juga di daerah.
“Aspirasi rakyat jelas: jangan lagi ada pejabat publik yang bermasalah masih bercokol mengurus rakyat. Jangankan mengurus rakyat, mengurus masalah pribadi saja tidak bisa, bahkan sudah menyeret orang lain lagi. Itu yang membuat publik semakin muak,” ujar Luqman.
*Etika di Atas Segalanya*
Dalam pandangan FMPK, hukum saja tidak cukup. Banyak tindakan pejabat publik yang mungkin lolos secara hukum, tapi jelas melanggar etika. Dan bagi rakyat, ukuran moral jauh lebih penting daripada sekadar hitam-putih aturan.
Ustadz Luqman menutup dengan peringatan, “Masyarakat ingin bukti, bukan narasi kosong. Kalau pusat bisa menunjukkan ketegasan, daerah pun tidak boleh kompromi. Partai dan BK harus menjadikan etika sebagai prioritas, karena di situlah letak kehormatan seorang pejabat publik.”
Kasus ini bukan sekadar tentang seorang anggota dewan. Ia adalah simbol pertempuran antara dua hal: Narasi politik yang penuh pembenaran vs Tuntutan rakyat atas integritas dan etika.
Jika partai politik dan BK DPRD Kuningan gagal menjawab tuntutan ini, mereka bukan hanya mempertaruhkan nama baik partai, tetapi juga semakin menguatkan kegelisahan rakyat yang sudah muak pada politik penuh kemunafikan.
(***)
0 Komentar